Wednesday 3 July 2013

Sinetron Indonesia Kurang Greget (?)

Rumput tetangga tampak lebih hijau daripada rumput sendiri.
Begitulah pepatah mengatakan. Namun, sebagai makhluk yang diberi akal dan pikiran, bukankah lebih baik kita menganalisa apakah rumput tetangga benar-benar lebih hijau atau hanya terlihat lebih hijau saja? Tentu hal itu diluar mensyukuri dan bangga akan apa yang telah kita punya. Ya, memang bersyukur itu perlu, tapi tidak ada salahnya toh kalau kita melakukan sesuatu untuk 'lebih menghijaukan rumput sendiri'? Hehehe.
Actually this post is dedicated to my close friend, Brantas Pranata Nusa. Kenapa dia? Ah bukan seperti yang anda kira kok (emang mengira apa coba? haha). He is a movie addict (with a super high level), and I know that his passion is on cinematography. I hope he has an important role to the one of the best Hollywood movie someday, aamiin - walaupun aku ngga terlalu ngerti dia pengennya jadi aktor, sutradara, kameramen, atau produser film. Tapi dibandingg itu semua, aku lebih pengen dia membenahi dulu dunia perfilman di Indonesia, membawa citra baik perfilman negaranya pada dunia perfilman internasional. Sounds cool, rite? hehe
Sebenarnya aku ngga terlalu suka film, ngga suka nonton bioskop, dan ngga suka nonton tv. Tapi akhir-akhir ini -entah kenapa- aku suka nonton drama Korea (no, I am not KPop-ers, Korean addict, or anything related to it). Dan rata-rata drama Korea yang aku tonton selalu 'nampak lebih hijau' daripada sinetron di Indonesia. Kenapa? Setelah aku pertimbangkan memang ada banyak hal yang membedakan keduanya, dan hal tersebut membuat drama Korea lebih unggul.
Well, karena aku bukan penyuka tayangan televisi, maka aku bedakan drama Korea dengan sinetron-sinetron yang pernah aku tonton dan yang aku tonton sekilas saja (just two or three episodes). Eh tapi bukan berarti aku ngga tau jelas gimana kondisi sinetron kita ya, I am the one who pay attention to every detail on scene. Btw alasan aku ngga terlalu suka film karena mungkin aku terlalu... emm, pilih-pilih kali ya hehe.

Yang pertama : jumlah episode.
Kalau drama Korea dan Taiwan (yup, ada beberapa drama Taiwan yang aku tonton) jumlah episodenya rata-rata antara 20 sampai 25 an, sinetron kita bisa ratusan! Belum lagi ada season 2, season 3, season 4, entahlah berakhir sampai kapan. Episode yang normal pun, masih mencapai angka diatas 50, pemirsa! Aku sih tidak begitu tau dunia perfilman, tidak tau back end nya ya lebih tepatnya. Tapi, sebagai penonton, aku merasa kok produsernya terlalu 'maksa' ya. Oke lah kalau sinetron itu bagus (di awal), dan digemari banyak penonton, tapi bukan berarti harus memperpanjang episode kan ya? Eh, atau dari awal emang direncanakan panjang? Bukankah kalau kita bikin roti (untuk satu porsi) gak harus terlalu besar tapi lompong di dalam kan? Yang penting kan pas, tidak bantet dan tidak terlalu mengembang, dan yang pasti rasanya enak. Nggak kenyang? Ya bikin lagi. Iya, sama! Kalau penonton nggak puas, ya bikin lagi! Dengan judul berbeda, cerita berbeda, tapi kualitas sama atau malah lebih baik. Takut penonton tidak tahu ada sinetron baru, eh tiba-tiba udah buyar karena episode terlalu sedikit? Gampang! Bikin poster yang menarik, bikin trailer yang beda dan bagus, upload atau iklankan beberapa hari atau bahkan beberapa minggu sebelum benar-benar ditayangkan. Keren kan?

Yang kedua : teknik pengambilan gambar.
Oke, yang paling saya nggak suka dari sinetron adalah : zoom to the face, bunyi-bunyian macem 'jeng-jeng-jeng-jeng' lalu zooming yang kelewat batas dan ekspresi aktornya penuh kebencian komat-kamit dan, mbatin tok. Atau kadang zooming pas nangis tapi apesnya eksresi aktor kurang, jadi nangisnya keliahatan banget kalau maksa. Dibanding drama yang saya tonton, ada pengambilan gambar yang memang tidak penting tapi itu justru letak art nya, uniknya disitu. Contoh nih, pasang sepatu sebelum bepergian aja di shoot, kasih kembalian uang aja juga di tayangin, dan yang di syuting nggak mulu orangnya dari dekat. Bahkan ada nih yang pengambilan gambarnya itu bener-bener dari slempitan, apa ya, macem celah atau lubang kecil gitu dengan jarak yang lumayan jauh dari si tokoh.
Lalu, please dong, pas adegan naik mobil dibuat bener-bener real. Sedih sekali ya ketika lihat sinetron dan tau kalau bermobilnya itu sebenernya diem di tempat, mobil digoyang-goyang, dan diberi efek pohon-pohon yang nge-looping. Oh God, that's really awful anyway! Di salah satu episode Cinta Cenat Cenut udah kemajuan, nyetir mobilnya beneran dan kameranya dipasang dalem mobil. Great kok!

Yang ketiga : cerita.
FYI, aku menganalisa juga dengan nonton beberapa sinetron jadul loh. Yes, of course there are some great dramas too. Aku sempet nonton ulang sinetron Benci Jadi Cinta (click here for the review) dari MD Entertainment (2006) dengan eisode yang tidak terlalu mencekik, 32 episode dan pengambilan gambar yang cukup kreatif di awal, di tengah dan di akhir kurang tau karena masih nonton awal-awal. Namun, setelah aku cari tau lebih lanjut, ternyata sinetron ini diadaptasi dari salah satu drama Korea berjudul My Girl (source on Wiki). Penjiplakan? Of course orang-orang akan berpikir seperti itu. Apalagi drama tersebut sudah ditayangkan loh di Malaysia pada tahun 2012 dan sebagian penonton disana sudah lihat My Girl terlebih dulu. Namun, sebenarnya sinetron tersebut bukan bentuk plagiarism loh, karena sudah ada ijin dari pihak My Girl untuk diadaptasi menjadi sinetron Indonesia. Nah loh, yang gak tau, ya tetep menyangka Indonesia plagiat, padahal ada ijin resminya. Maka dari itu, dengan jumlah episode yang tidak terlalu banyak dan teknik pengambilan gambar yang sudah kreatif, kenapa kita nggak mengarang cerita sendiri? Akan lebih bagus bukan? Banyak kok penulis muda yang kreatif menulis cerita dan menulis skenario, ya kan?

Yang keempat : make up, character, and actor style.
Ini last but not least yah, make up, character, dan style pemain. Penting! Kenapa penting? Oke, ketiganya berhubungan satu sama lain. Pada tau kan kalau cerita yang bagus itu salah satunya karena pendeskripsian dan penggambaran karakternya jelas dan kuat? Itu biasanya di novel-novel sih, tapi di drama pun aku rasa juga sama. Aku tertarik dengan karakter Morgan Sm*sh di Cinta Cenat Cenut yang so cool and calm, karakter dia kuat disitu - dari awal, sampai akhir. It's Great! Tapi nggak banyak yang bisa kaya gitu, atau mungkin sinetron lain kebanyakan pemain ya? Nah, ini juga penting, jumlah pemain nggak perlu banyak-banyak!
Make up and style. Masih berkaitan dengan karakter, ini nih yang bikin aku agak sensi. hehe maaf. Gimana nggak, seorang figuran yang bermain sebagai pembantu pun pakai bulu-mata-anti-badai-dan-tsunami! Hampir semua pakai bulu mata yang keliatan banget palsunya, Gosh! Apalagi pemain utamanya, masih remaja udah didandanin kaya tante-tante. Please, nggak perlu dandanan menor untuk mencapai kesan 'dewasa'. Karakter-karakter-karakter, bangun karakternya dan perkuat karakter. Kalau tetep tidak bisa tampak dewasa, ganti pemainnya! More natural on make up will be better I think. Apalagi buat film laga atau kolosal nih ya, please please please, aku tau mereka harus tampil cantik, tapi masa iya sih jaman kerajaan dulu ada super light eye shadow dan bulu mata palsu yang begitu hebring? Nggak kan? Buat semua senatural mungkin, semanusiawi mungkin pada jaman masing-masing. Lebih masuk akal, bukan?

Well, aku bukan kritikus film yang tidak bisa apa-apa cuma bisa mengkritik, aku berani kok ngasih saran dan masukan, bahkan nyumbang ide cerita deh :P hahaha (pede banget). Bukan bermaksud menjelekkan dan 'memandang tidak hijau' rumput sendiri. Tapi aku ingin rumput yang sudah hijau ini diperhijau lagi. Kalau rumput tetangga memang lebih hijau, kenapa kita tidak belajar dari tetangga? Bukankah tidak salah jika kita bertanya bagaimana si tetangga menumbuhkan rumputnya? Bukankah tidak salah jika kita belajar dari drama luar? Bukan bermaksud tidak menyukuri dan tidak bangga dengan produk sendiri, kritik dan saran ini ditulis karena aku ingin nonton Sinetron Indonesia yang berkualitas dan bisa aku pamerin ke temen-temen mancanegara (emang punya? hehe).
Komentator bola memang belum tentu bisa bermain bola. Kritikus juga tidak selalu bisa membuat yang lebih baik. Namun dengan analisis dan pengamatan yang mereka lakukan, mereka dapat diterima. So, May I? hehe wink wink ;)
Okey, thanks for reading, semoga bermanfaat, mohon maaf banget kalau ada yang tersinggung. Manusia tempatnya khilaf kan? Hehe. Well, semoga dunia perfilman Indonesia bisa lebih baik ke depannya, aamiin :) (ini salah satu PR dari aku buat Brantas, btw)

Bunch of love, Sella

No comments:

Post a Comment