Sondang Hutagalung. Sebuah nama yang sebelum 7 Desember lalu masih asing bagi kita, kini menjadi buah bibir karena aksi bakar diri nya mengakibatkan hilangnya nyawa dirinya. Ya, di depan Istana Merdeka pada Rabu, 7 Desember lalu, Sondang yang seorang mahasiswa Universitas Bung Karno Jakarta membakar dirinya sendiri.
Sampai sekarang tidak jelas motif apa yang melatarbelakangi tindakan bakar dirinya tersebut. Dan sepertinya, hal ini akan terus jadi pertanyaan karena 3 hari kemudian, nyawanya tidak tertolong. Kita hanya bisa mengira-ngira, menghubung-hubungkan tindakannya itu dengan aktifitas dia dalam memperjuangkan HAM.
Terlepas dari urusan benar atau salah, membakar diri bukanlah sesuatu yang biasa terjadi di Indonesia. Ini kemudian menjadi pro dan kontra di masyarakat karena sepanjang sejarah Indonesia, belum mengenal membakar diri sebagai ekspressi untuk memperjuangkan sesuatu. Bahkan untuk ukuran aktivis pun, tindakan Sondang tergolong ekstrem.
Sampai sekarang tidak jelas motif apa yang melatarbelakangi tindakan bakar dirinya tersebut. Dan sepertinya, hal ini akan terus jadi pertanyaan karena 3 hari kemudian, nyawanya tidak tertolong. Kita hanya bisa mengira-ngira, menghubung-hubungkan tindakannya itu dengan aktifitas dia dalam memperjuangkan HAM.
Terlepas dari urusan benar atau salah, membakar diri bukanlah sesuatu yang biasa terjadi di Indonesia. Ini kemudian menjadi pro dan kontra di masyarakat karena sepanjang sejarah Indonesia, belum mengenal membakar diri sebagai ekspressi untuk memperjuangkan sesuatu. Bahkan untuk ukuran aktivis pun, tindakan Sondang tergolong ekstrem.
Soe Hok Gie misalnya, aktivis kampus yang terkenal radikal dan tak kenal kompromi dan pernah menuliskan keinginan nya untuk mati muda pun tak pernah berpikir untuk membakar dirinya. Walaupun pada akhirnya Gie mati muda, tapi itu karena kecelakaan pendakian di Mahameru (puncak Gunung Semeru) yang mengakibatkan Gie menghirup uap beracun Mahameru.
Kembali ke Sondang, peristiwa ini menimbulkan reaksi beragam dari masyarakat. Kebanyakan menyayangkan aksi ini mengingat Sondang masih muda dan masih panjang jalan hidupnya, sebagian menganggap Sondang adalah seorang yang “berani mati tapi tak berani hidup” dan sebagian lagi menganggap Sondang adalah seorang martir demokrasi.
Kembali ke Sondang, peristiwa ini menimbulkan reaksi beragam dari masyarakat. Kebanyakan menyayangkan aksi ini mengingat Sondang masih muda dan masih panjang jalan hidupnya, sebagian menganggap Sondang adalah seorang yang “berani mati tapi tak berani hidup” dan sebagian lagi menganggap Sondang adalah seorang martir demokrasi.
Kita terperosok untuk menghujat dan menghina Sondang sehingga alpa bahwa ada masalah yang sangat pelik di negeri ini yang mungkin menjadi dasar dan alasan dia memilih bakar diri sebagai ekspressi pribadinya.
Walaupun Islam jelas melarang aksi bunuh diri seperti ini. Tetapi Islam juga tidak melarang kita untuk memerangi kebatilan dan kesuraman yang menaungi negeri kita.
Sejarah sempat mencatat bahwa ada beberapa peristiwa serupa di belahan dunia lain yang juga mengakibatkan meninggalnya pelaku bakar diri. Sebut saja Chun Tae-il, seorang buruh pabrik garmen di seoul yang membakar dirinya sendiri pada 13 November 1970 di depan aksi massa.
Kemudian ada Mohammed Bouazizi, seorang pedagang Tunisia yang tewas terpanggang api pada 17 Desember 2010, bulan ketika dunia memperingati Hari HAM sedunia.
Yang menjadi pembeda dengan aksi Sondang adalah, 2 aksi tersebut berhasil menghidupkan 'massa' untuk berontak terhadap ketidak adilan dalam hidup mereka. Chun Tae-il berhasil memantik gelora massa untuk merubah nasib buruh di Korea Selatan dan seperti kita ketahui bersama, di Tunisia rezim Ben Ali berhasil di robohkan oleh 'people power'.
Sedangkan di negeri kita, media massa sebagai pilar ke empat demokrasi hanya menjadikan nya berita 'kelas dua' yang tidak dianggap mampu menaikkan oplah mereka. Aktivis dan mantan aktivis (yang notabene sekarang banyak yang sudah menjadi anggota legislatif) menanggapi dingin aksi Sondang.
Pemerintah negeri ini yang terkesan dingin dan hanya mengirimkan ucapan turut berduka cita turut menambah padam bara yang coba di sulut oleh Sondang.
Pesan harafiah yang coba di bawa Sondang pelan-pelan mulai tak terbaca. Bara yang tersisa dari peristiwa itu lama-lama mulai padam. Mungkin di negeri ini memang sudah dalam tahap sekarat. Korupsi menggurita dimana-mana dan terjadi hampir di semua lini, bahkan menggerogoti di tiga pilar demokrasi (eksekutif, yudikatif dan legislatif). Dan bahkan pilar ke empat demokrasi yaitu Pers sebagai pengontrol kini mulai dikuasi oleh partai politik.
Terlepas dari semua kesalahan almarhum, berhentilah untuk menghujat almarhum Sondang. Semua yang kita liat tergantung pada dimana sisi kita melihatnya. Apabila kita melihat dari sisi negatif, pasti yang ada di pikiran kita adalah hal yang negatif. Tetapi apabila kita melihatnya dari sisi positif, maka positif lah yang akan terlintas di pikiran kita.
Dan sekali lagi......Mudah-mudahan kejadian ini mengetuk hati nurani para pemimpin bangsa ini!
Bagaimana pendapat anda ??
Semoga sondang yg di SI tidak melakukan hal yang serupa. hehe
ReplyDeletememang sulit untuk di jelaskan
ReplyDeletemasih banyak cara untuk berjuang, yang pasti tidak dengan mati konyol seperti ini.
ReplyDelete