Wednesday, 7 December 2011

Jam Berapa?

Hai teman-teman. Kali ini saya akan sedikit bercerita tentang kehidupan sosial di sekitar kampus tercinta saya, ITS. Sebenarnya momen ini sederhana, cenderung tidak jelas, tapi sukses membuat saya bertanya-tanya, curiga, ingin tahu (apa bedanya?) sekaligus sedikit tersentuh.
Oke kawan, bersiaplah membuka mata lebar-lebar dan siapkan popcorn siapa tahu anda lapar, atau bantal, siapa tahu anda bosan. hehe
Begini ceritanya..
Suatu hari saat sedang berjalan ke UPMS untuk kuliah PTIK, di depan gedung Rektorat saya menjumpai seorang ibu-ibu setengah baya. Beliau memakai penutup kepala dengan kain seadanya, berpakaian sedikit lusuh, memakai sandal jepit, dan memegang sabit (celurit) sambil membersihkan rumput liar yang ada di halaman depan rektorat.
Nah, ketika saya (dan teman saya, Giovanny) sampai di dekat ibu tersebut, ibu itu langsung melongok ke arah kami dan dengan wajahnya yang terlihat lelah, dia bertanya, "Mbak, permisi, jam berapa ya?"
"Setengah sebelas Bu." jawab Giovanny saat itu (kebetulan saya tidak memakai jam tangan).
Dialog pun berakhir dengan ucapan terima kasih sebagai penutup dari sang ibu.

Coba teman-teman resapi sebentar.
Mungkin simpel sih, tapi coba amati apa yang ada di balik kisah ini.
Seorang wanita yang tidak lagi muda, bekerja keras di siang-siang bolong, tetap semangat dengan terik matahari yang waktu itu sangat menyengat, plus tidak bawa jam tangan. Boro-boro bawa, mungkin punya aja enggak.

Nah, hebohnya lagi, kejadian ini terulang dua kali dengan dua orang yang berbeda. Bedanya, yang ke dua adalah seorang mas-mas, berpakaian hampir sama, namun dengan lokasi yang berbeda (baca : jauh lebih panas), dan dengan wajah yang terlihat sama lelahnya ia bertanya dengan pertanyaan yang sama pula.

"Mbak, jam berapa ya?"

Pertanyaan yang simpel namun mengandung banyak arti jika kita mau mencarinya.
Mungkin dibalik pertanyaan itu ada sebuah harapan, ada sebuah keingintahuan, ada sebuah keluhan, atau yang lainnya.

"Mbak, sekarang berapa ya, kok mataharinya terik sekali?"
"Mbak, sekarang jam berapa ya, apa saya sudah boleh istirahat atau pulang? Saya kelelahan."
"Mbak, sekarang jam berapa ya, apa sudah adzhan? Saya belum sholat."

Mungkin seperti itu atau mungkin yang lainnya. Sebenarnya bukan masalah 'jam' nya, tapi coba lihat dan gali lebih dalam lagi.
Apa yang bisa kita petik?
Bayangkan saja jika kita di posisi mereka. Boro-boro melihat jam di layar handphone, jam tangan yang sekarang notabene murah pun mereka tak punya.

Mungkin kisah ini tidak terlalu penting, namun yang membuat saya trenyuh justru rasa syukur yang selama ini ternyata jauh dari kehidupan saya. Ucap syukur yang selama ini saya lalaikan begitu saja. Itu nilai yang pertama : syukur.
Yang kedua adalah kecintaan pada lingkungan.
Mereka, para penyapu jalan, tidak dibayar mahal untuk bekerja keras di bawah terik matahari. Namun kita seringkali tanpa sadar telah membebani mereka dengan sampah-sampah yang terbuang sembarangan, ulah nakal merusak tanaman, merusak lingkungan, mengotori lingkungan, dan sebagainya.
Dan yang terakhir, kisah itu mengajarkan saya memahami arti sebuah keikhlasan.
Walaupun saya tidak tahu isi hati kedua pekerja tersebut, tapi dari tatapan mata dan keramahan mereka, saya yakin benar, ada rasa ikhlas yang luar biasa dalam hati mereka.

Seharusnya kita malu pada mereka, yang bekerja tak kenal waktu, yang menjalankan amanah walau berat, dan yang rela lelah demi manusia-manusia lain.
Kita, yang masih muda, yang lebih berada, seharusnya bisa belajar dari orang-orang kecil tersebut. Hargai sesama, nikmati hidup, dan jangan lupa bersyukur.

Oke, done. Itu saja cerita dari saya.
Ngomong-ngomong boleh tahu, sekarang jam berapa? Kenapa saya sudah merasa ngantuk ya? hehehe. Selamat malam.
Semoga bermanfaat :)

6 comments:

  1. Sudah jam 1 malam mbak, jelas aja dah lewat waktu tidur anda. Ayo cuci kaki cuci tangan minum susu nya lalu pergi tidur.......hehehehehehe

    btw nice content, pelajaran yang bisa di petik dari sini adalah penting nya syukur dan ikhlas. Bagi pelajar,mahasiswa/i wajib bersyukur masih bisa sekolah karena di luar sana ada 4,7 juta anak yang putus sekolah.

    ReplyDelete
  2. hehehe. makasih mas sudah mengingatkan :)
    iya .. masih banyak yang kurang beruntung yaa

    ReplyDelete
  3. kepekaan kita terhadap lingkungan sekitar lah yang sering membuat kita selalu sadar untuk membuka mata bahwa kita sebenarnya beruntung dan kita patut bersyukur....

    ReplyDelete