Well, saya jelaskan singkat dulu ya, ini cerita sambungan dari cerita teman saya sebelumnya. Jadi kita bikin cerita bersambung yang nyambung-nyambung gitu *apasih*. oke buat yang penasaran, cerita sebelumnya ada di link ini : Why Always Me? (ps : itu cerita ke dua, btw). oke, enjoy the show.
...
“Sometimes I need to
remember just to breathe
Sometimes I need you
to stay away from me
Sometimes I’m in
disbelief I didn’t know
Somehow I need you to
go”
Sudah belasan – ah, mungkin puluhan kali nada dering itu berputar.
“Ya?” jawabku sekenanya sambil menarik selimut yang mulai turun, masih
dengan mata terpejam.
Sekuat tenaga aku coba menangkap apa yang disampaikan seseorang di ujung
sana. Pukul sebelas, katanya. Pukul sebelas, kucatat dalam otakku. Ya, pukul
sebelas siang.
Mataku terbuka. Terkesiap.
“Nanti aku telepon balik.” Buru-buru ku tutup ponsel, cepat-cepat duduk dan
memahami situasi.
Shit! Siapa yang mengganti pakaianku?
Ah, kepalaku masih pusing, berat, dan lelah. Jangankan untuk mengingat apa
yang terjadi kemarin atau siapa yang membawaku kemari, untuk berpikir apa yang
harus ku lakukan sekarang saja rasanya nggak bisa.
“Toilet
disebelah sana, bukan disini”
Ah ya, aku ingat. Terakhir aku berhalusinasi tentang Jo. Tak ku kira,
terlalu banyak wine bisa membuat orang berhalusinasi. Lalu? Setelah itu?
Bukankah semuanya gelap? Entahlah. Aku benar-benar tak ingin berpikir.
“Sudah bangun ya?”
Aroma maskulin yang sangat ku kenal menguar begitu saja ketika seseorang
berjalan mendekat, membuyarkan lamunanku barusan. Langkah kakinya yang halus
membuatku sedikit tercekat. Tentu, aku kenal suara itu. Juga wangi badannya.
Ya, wangi masa lalu.
Ku dengar langkah kaki terakhirnya sebelum ia berhenti tepat di bibir
ranjang, menyodoriku sebuah apel.
Aku menoleh refleks.
Dia tersenyum. Hangat, tapi aku membencinya.
Ku tepis tangannya hingga apel itu terjatuh, berdebum menatap lantai kayu
kamar ini dan memecah hening diantara kami untuk sesaat.
“Oh, jadi ini sambutanmu untuk kawan lama?”
Senyum itu masih mengembang di wajahnya. Senyum yang selalu aku rindukan di
malam-malam yang panjang. Tapi sayang, sekarang aku sedang tidak ingin
basa-basi dengannya.
“Mana bajuku?” kataku lirih dan bergetar, sambil membuang pandangan ke
sembarang tempat. Aku, tentu tak ingin menatap matanya lebih lama.
“Tidurlah dulu sebentar. Nanti aku antar pulang.” Jawabnya lembut.
“Mana bajuku?!!” aku mengulangi kalimatku, dengan sedikit keras tentunya.
Dia hanya bergeming.
Sedetik kemudian, ia meraih tanganku. Membuatku merasa hanyut dalam
perasaan yang tidak ingin aku jelaskan. Ku akui, aku kalah kali ini.
***
Dua gelas es krim mungil tergeletak begitu saja di meja kami. Mungkin
terdengar bodoh ketika aku mengiyakan tawarannya untuk pergi ke restoran cepat
saji di sudut Denpasar.
Kita belum sarapan, katanya waktu itu.
Sesekali aku menatap manik mata coklat itu ketika ia sibuk melahap
burgernya. Di sana lah aku pernah terbawa arus mematikan, yang mereka sebut-sebut
sebagai cinta.
Jo tidak banyak berubah. Kecuali tingginya yang mungkin bertambah beberapa
senti. Selain itu, ia tetap saja seperti Jo yang ku kenal dulu. Tetap menawan.
“Bee,” panggilnya kalem, membuat lamunanku pecah.
“Ya?” aku menjawab sedatar mungkin, tentu saja aku tidak ingin dia tahu aku
sedang terlena.
“Apa kamu punya pacar?” tanyanya setengah berbisik.
“Tentu saja.”
“Oh. Oke.”
“Kenapa?” suaraku terdengar dingin, “Kamu tidak sedang berpikir aku masih
berharap padamu kan?”
Ku dengar dia tertawa. Sedikit keras, tapi hambar. Seakan merutuki dirinya
sendiri dan menyesali pertanyaannya tadi.
“Tidak.” jawabnya.
Kami masih bergelut dengan perasaan masing-masing sampai ponselku – yang
kuletakkan di atas meja berdering nyaring.
Cuppycake. Begitu tertulis di
layar. Aku membacanya. Jo membacanya.
“Pacarmu?” tanya Jo dengan suara beratnya.
Aku mengangguk, lalu mengangkat telepon.
Ku perhatikan Jo sesekali sambil mengobrol singkat dengan Eden. Tapi, mata
coklat pekat itu, ah, aku tak bisa menghindar lagi.
Di tempat yang lain, Eden terdengar cemas menanyakan keadaanku. Dia bilang,
dia sedang berada tidak jauh dari restoran ini. Jadi, mudah sekali menebak apa
yang akan dilakukan Eden selanjutnya. Ya, dia akan menjemputku. Sesegera
mungkin. Secepat mungkin. Baguslah.
“Aku harus pergi.” Kataku pada Jo sesaat setelah Eden menyudahi
panggilannya.
“Sekarang?”
“Hm.” Aku mengangguk. Ku lahap sesendok terakhir es krim vanilaku.
“Nomor HP mu tetap?”
Aku diam saja, masih sibuk mebenahi tasku dan merapikan baju.
“Bee, nomor HP mu tetap?” ulangnya tak sabaran.
“Ya.” Jawabku singkat, sambil berdiri.
Ia ikut berdiri.
Aku sempat melihat raut wajahnya namun entah emosi apa yang sedang memenuhi
kepalanya. Seperti ingin menahanku, seperti ingin mencegahku pergi, seperti
masih tak percaya kalau kami bisa bertemu dan akan terpisah lagi, secepat ini.
Persetan lah! Aku ingin pergi secepatnya. Aku tak ingin manik mata coklat
itu menyeretku lagi untuk jatuh hati lebih dalam.
“Aku balik duluan.” Kataku sambil lalu.
Masa bodoh dengan semua pikiran dan perasaan Jo. Aku lebih tak ingin
melihat Jo dan Eden bertemu.
Ia berusaha mengejarku di belakang. Namun berhenti sampai di ujung pintu restoran.
Keputusan yang tepat, pikirku.
Sementara itu, kulihat Eden sudah menunggu di depan resto. Mengenakan jaket
kulit sewarna tanah, duduk di atas motor sportnya dengan helm yang masih
terpasang rapi. Seperti biasa, ia terlihat gagah.
Aku cepat-cepat naik ke atas motor. Memeluk tubuh Eden dari belakang. Lebih
erat daripada biasanya.
Sebelum motor Eden melaju, ku sempatkan melihat Jo di ujung pintu resto.
Samar-samar ku lihat ada cemburu yang terbaca dari manik mata coklat yang begitu kukagumi itu.
Sayup ku dengar lagu favoritku berputar. Entah dari mana asalnya, aku
sungguh tak peduli.
Kali ini aku menang.
"Forget our memories
Forget our
possibilities
What you were changing
me into
Just give me myself
back and
Don’t stay" - Don't Stay by Linkin Park
...
Thanks for reading! cerita selanjutnya ada di link ini : coming soon ;)
pesan buat si Jo : ini terserah si Eden mau dibikin gimana, I hope you know what I mean :p btw maaf tiba2 ganti sudut pandang jadi sudut pandangnya si Bee. dan kayanya gaya tulisanku udah beda dari dulu. lebih alay haha.
No comments:
Post a Comment