Alangkah Lucunya Negeri Ini adalah sebuah film komedi garapan Deddy Mizwar ini pantas diacungi dua jempol. Selain mampu mengocok isi perut lewat humor-humor segarnya, pesan moral serta kritik yang luar biasa pun bisa tersampaikan pada penikmat film.
Secara ringkas, film yang tayang pada 15 April 2010 itu bercerita tentang perjuangan tiga orang sarjana muda yang pengangguran (Muluk, Pipit, dan Samsul) dalam mendidik pencopet-pencopet kecil tentang seberapa pentingnya arti pendidikan, agama, dan juga pendidikan kewarganegaraan.
Dengan susah payah, tiga orang itu mengajari anak-anak yang mencopet untuk beralih profesi menjadi pengasong. Banyak rintangan yang harus dihadapi oleh ketiga sahabat itu, diantaranya adalah ketika orang tua mereka mengetahui pekerjaan anak-anaknya dan menyangsikan bahwa uang yang didapat dari mengurus pencopet adalah halal.
Dari film ini, banyak sekali pesan moral yang ingin disampaikan untuk mengkritisi negeri yang bobrok ini. Di luar dugaan, dkemas dalam bentuk komedi justru semakin mempertegas sentilan-sentilan di dalamnya.
Memang, tanpa dapat kita pungkiri, Indonesia saat ini mengalami krisis besar-besaran hampir di segala aspek. Namun yang paling menonjol adalah moral bangsa, dimana segala sesuatu bisa diatur dan dibeli dengan politik uang.
Semua orang boleh koar-koar tentang betapa kayanya sumber daya alam kita. Tapi yang harus kita garis bawahi adalah betapa miskinnya kepedulian dan moral rakyat Indonesia.
Saya sempat belajar tentang pengertian negara hukum saat SMP, yang menurut teori artinya adalah negara yang segala sesuatu urusannya diatur berdasarkan hukum yang berlaku. Sedangkan hukum itu sendiri bersifat memaksa dan tidak pandang buluh. Namun bagaimana dengan faktanya? Lihat saja bagaimana hukum ditegakkan di negara kita. Memang bersifat memaksa. Memaksa yang kaya mengeluarkan uangnya untuk bebas. Memaksa yang miskin untuk dihukum lebih lama dengan kesalahan yang notabene lebih ringan. Memaksa koruptor untuk melakukan penyuapan ke instansi yang berwenang agar bisa lebih cepat bebas, mendapat fasilitas berbeda, dan tetap terjamin walau di bui. Atau mungkin memaksa pencuri mangga untuk rela dihukum seberat-beratnya. Itu adalah fakta yang harus kita terima.
Negara hukum ini sudah jauh sekali menyimpang dari makna agungnya. Petinggi kita terlalu terlena untuk mengurus hal-hal yang kecil. Pengasong dan pengamen yang mencari nafkah dengan jalan halal selalu ditindak dan dibawa entah kemana dan entah diapakan. Mungkin diberi pekerjaan yang lebih layak agar tidak mengganggu lalu lintas, atau yang lain, saya tidak ingin membahas lebih lanjut karena bukan itu pointnya. Saya hanya ingin menggarisbawahi upaya pemerintah dalam memberantas korupsi.
Terlepas dari proses dan kinerja KPK di belakang sana, mengapa orang-orang besar yang –katanya- mewakili rakyat sering lambat sekali dalam mengambil keputusan untuk para tikus-tikus berdasi yang menggerogoti uang negara? Dimana esensi dari titel negara hukum yang dulu begitu dijunjung tinggi oleh penggerak kemerdekaan? Mungkin saat ini negara hukum hanya menjadi embel-embel pemanis belaka atau karena memang tidak ada titel yang lebih baik untuk negeri ini, saking bobroknya.
Masalah terbesar yang kedua sebenarnya adalah minimnya kesadaran rakyat Indonesia akan pendidikan. Namun ada beberapa faktor untuk sampai pada bahasan tersebut. Salah satunya adalah kemiskinan. Kita tidak bisa menyalahkan rakyat yang kurang sadar akan pentingnya pendidikan jika mereka sendiri masih terbelit masalah kemiskinan. Faktanya, rakyat-rakyat miskin memang lebih mementingkan bagaimana bisa makan dan menyambung hidup daripada bisa bersekolah dan berpendidikan tinggi. Untuk hal ini, kinerja pemerintah sudah cukup bagus dengan menggalakkan program Bantuan Operasional Sekolah (BOS). Namun sebagai golongan yang lebih terpelajar, pemerintah seharusnya juga menyosialisasikan program tersebut secara kongkrit dan memastikan semua golongan masyarakat memahami serta mengikuti program menguntungkan yang diadakan pemerintah. Karena tidak semua perhatian rakyat tertuju pada agenda-agenda pemerintah dalam mencerdaskan bangsa. Bahkan beberapa diantara mereka hanya menganggap pendidikan sebagai angin lalu saja.
Lalu apa sih pentingnya pendidikan? Bukankah saat ini pemuda-pemudi kita lebih suka mengejar gelar daripada memahami ilmu apa yang mereka dalami dan bagaimana caranya agar ilmu tersebut dapat berguna bagi dirinya sendiri, orang lain, juga negeri ini? Di era seperti ini, bukankah banyak dokter-dokter bertopeng yang hanya mengejar popularitas dan tingkat sosial di masyarakat tanpa memahami makna profesi serta kedudukan mereka yang sebenarnya? Banyak pula wakil-wakil rakyat yang lebih mementingkan pendapatan daripada amanah di pundak kanan dan kiri mereka. Mereka-mereka orang berpendidikan tinggi justru tidak paham betul apa makna didikan, terdidik, dididik, apalagi mendidik.
Pendidikan itu tetap penting, sangat penting tepatnya. Tentu ketika didukung dengan moral dan perilaku manusia dalam pengimplementasiannya. Namun yang terpenting itu pendidikan yang baik, karena mampu mencetak generasi bangsa yang juga lebih baik agar mampu menyelamatkan atau minimal meminimalisir kerusakan-kerusakan yang ada pada negara kita. Karena hanya dengan itu kita bisa membenahi apa saja yang melenceng di negeri ini.
No comments:
Post a Comment