Showing posts with label Cerpen. Show all posts
Showing posts with label Cerpen. Show all posts

Wednesday, 24 December 2014

Toko Boneka [Cerpen]

Pria maskulin itu berdiri mematung di depan belasan boneka. Tangannya bertopang dagu. Sulit untuk mempercayai dirinya sendiri yang hari ini rela melangkahkan kaki pergi ke mall hanya demi mengunjungi salah satu gift shop. Sulit pula percaya bahwa ia sudi memasuki toko dengan interior yang didominasi pink, peach, dengan sedikit hijau pastel yang terkesan begitu centil di matanya.

Ia benar-benar merasa seperti sedang berada diantara alam sadar dan mimpi. Benar-benar diantara keduanya. Bukankah terlihat aneh melihat sales manager perusahaan besar yang begitu klimis, tegas, dan nampak berwibawa dengan setelan jas formalnya berada dalam sebuah toko yang menurutnya terlalu cerah ceria?

"Mencari kado seperti apa, Pak?" suara itu membuyarkan lamunannya.

Dilihatnya perempuan mungil yang tersenyum lembut dan telah berdiri sejajar dengannya, mengenakan seragam senada dengan warna interior toko, lengkap dengan bandana berpita polkadot yang membungkus anak rambutnya sehingga terlihat rapi.

Mendadak ia merasa geli sendiri.

Konyol rasanya jika hari ini ia harus membuang prinsip dan janjinya jauh-jauh. Bagaimanapun, ia tetap tidak suka toko boneka, atau gift shop, atau toko aksesoris, atau apalah orang menyebutnya.

"Saya mau boneka beruang yang paling besar. Warna pink." pria itu tersenyum. Terpaksa. "ah ya, sekalian pita dan jepit rambut pink yang itu." lanjutnya seraya menunjuk aksesoris rambut yang ia maksud.

Cepat-cepat ia menuju kasir.
Ia sedang terburu-buru. Bukan dikejar waktu, melainkan diburu ketidaknyamanan, selaksa kenangan, juga sedikit rindu.

Saturday, 7 December 2013

Desember Keempat [Cerpen]

ingin sekali ku katakan ‘aku suka padamu’
namun cinta ini siksa jika ku ‘gak ada kamu
hendak jiwa kan mengikatmu di sisi
namun berat untuk mengucap, cukup untuk kukagumi
- Bondan Prakoso - Bunga

Bulan Desember, musim penghujan yang selalu membuat hatiku sendu.

Terhitung sejak awal kita bertemu, sudah empat kali aku melalui musim hujan bersamamu. Bukan sebagai sepasang kekasih, namun sebagai sahabat yang selalu dekat. Begitu dekat hingga akhirnya aku tak mampu mengendalikan hatiku sendiri.

Namun setiap kali aku berharap lebih, kau selalu bisa meyakinkan bahwa persahabatan kita bukanlah sesuatu yang bisa ditukar dengan cinta. Apalagi model cinta seperti dalam drama.

Pernah sekali ku bertanya, apa kau bisa menyukai orang sepertiku?

“Tentu saja, jika kau bukan sahabatku.” Jawabmu waktu itu. Kau tersenyum sembari melihat bintang yang bertaburan di langit. Seolah tidak ingin menatapku. Seolah kau tahu bahwa bukan jawaban itu yang aku tunggu.

Maka sejak saat itu, aku putuskan untuk mengagumimu dalam diam. Menyatakannya dengan untaian doa di akhir sujud. Biar saja hanya aku dan Allah yang tahu.

Friday, 8 November 2013

Mendung di Denpasar

Finally done! haha
Well, saya jelaskan singkat dulu ya, ini cerita sambungan dari cerita teman saya sebelumnya. Jadi kita bikin cerita bersambung yang nyambung-nyambung gitu *apasih*. oke buat yang penasaran, cerita sebelumnya ada di link ini : Why Always Me? (ps : itu cerita ke dua, btw). oke, enjoy the show.

...



“Sometimes I need to remember just to breathe
Sometimes I need you to stay away from me
Sometimes I’m in disbelief I didn’t know
Somehow I need you to go”

Sudah belasan – ah, mungkin puluhan kali nada dering itu berputar. 

“Ya?” jawabku sekenanya sambil menarik selimut yang mulai turun, masih dengan mata terpejam.
Sekuat tenaga aku coba menangkap apa yang disampaikan seseorang di ujung sana. Pukul sebelas, katanya. Pukul sebelas, kucatat dalam otakku. Ya, pukul sebelas siang.

Mataku terbuka. Terkesiap.

“Nanti aku telepon balik.” Buru-buru ku tutup ponsel, cepat-cepat duduk dan memahami situasi.

Shit! Siapa yang mengganti pakaianku?
Ah, kepalaku masih pusing, berat, dan lelah. Jangankan untuk mengingat apa yang terjadi kemarin atau siapa yang membawaku kemari, untuk berpikir apa yang harus ku lakukan sekarang saja rasanya nggak bisa.

“Toilet disebelah sana, bukan disini”

Ah ya, aku ingat. Terakhir aku berhalusinasi tentang Jo. Tak ku kira, terlalu banyak wine bisa membuat orang berhalusinasi. Lalu? Setelah itu? Bukankah semuanya gelap? Entahlah. Aku benar-benar tak ingin berpikir.

“Sudah bangun ya?”

Aroma maskulin yang sangat ku kenal menguar begitu saja ketika seseorang berjalan mendekat, membuyarkan lamunanku barusan. Langkah kakinya yang halus membuatku sedikit tercekat. Tentu, aku kenal suara itu. Juga wangi badannya. Ya, wangi masa lalu.
Ku dengar langkah kaki terakhirnya sebelum ia berhenti tepat di bibir ranjang, menyodoriku sebuah apel.

Aku menoleh refleks.
Dia tersenyum. Hangat, tapi aku membencinya.
Ku tepis tangannya hingga apel itu terjatuh, berdebum menatap lantai kayu kamar ini dan memecah hening diantara kami untuk sesaat.

“Oh, jadi ini sambutanmu untuk kawan lama?”
Senyum itu masih mengembang di wajahnya. Senyum yang selalu aku rindukan di malam-malam yang panjang. Tapi sayang, sekarang aku sedang tidak ingin basa-basi dengannya.