“Cowok itu emang gitu ya..” dia memulai ceritanya. Begitu
tiba-tiba. Membuat pikiranku yang sedari tadi menjelajah masa lalu kembali pada
realita.
“Ha? Gitu gimana?” tanyaku penasaran.
“Ya gitu. Pas ceweknya biasa aja, dia ngasih kode. Ngasih
perhatian. Ngedeketin. Terus pas si cewek udah membuka hati, udah ngerespon, tiba-tiba
dia nya yang menjauh.”
Aku terdiam. Tersenyum samar-samar. Rasanya ingin
menertawakan diriku sendiri, tapi mendengar suaranya bercerita yang begitu
sungguh-sungguh, aku rasa ini bukan waktunya tertawa.
“Bukannya enakan gitu?” Tanyaku.
“Enakan gitu gimana? Itu namanya seenaknya sendiri, Sel.”
Aku tersenyum lagi.
“Eh, mending gitu kali. Menurutku itu lah sisi ketegasan
cowok. Kalau dia ngga cocok, bukannya mending gitu ya, langsung menjauh aja.
Mumpung belum sih. Daripada mempertahankan apa yang dia sendiri ngga yakin.”
Dia mengerutkan alisnya. Seakan masih belum mau berdamai dengan
pemikiranku, namun ingin mendengarkan lebih banyak.
Aku melanjutkan, “kita kan udah layak disebut sebagai orang
dewasa. Setiap keputusan yang kita ambil harusnya dipikirkan pula jangka
panjangnya. Dan kita juga bukan dalam usia yang masih pantes pacaran ala-ala,
yang cuma buat main-main aja.”
“Lalu?” dia bertanya tak sabaran.
“Laki-laki yang visioner pasti pernah lah memikirkan
pasangan masa depan. Kalau dia termasuk yang visioner, ketika mendekat dia juga
mempertimbangkan apakah kamu memungkinkan untuk jadi masa depannya atau tidak.
Nah setelah kenal dekat, ternyata dia malah ngga yakin. Bukannya lebih baik
kalau dia segera menghindar? Itu namanya tegas. Daripada sudah tahu ngga
memungkinkan untuk menikah, tapi dia tetap mendekat cuma karena biar ga jomblo aja. Mau senengnya aja. Terus nanti kalau dia bosan, kamu bakal ditinggal
tengah jalan.”
Kulihat dia tersenyum, mulai menyetujui.
“Kok kamu tau banget sih?” ia tertawa kecil, menggodaku.
Membuatku harus menjelaskan sesuatu yang sudah kusimpan rapi dalam hati.
“Karena aku pernah salut dengan usaha seseorang untuk
menyudahi usaha kami. He’s the one who set it up, and he’s also the one who
make it stop.”
“Lalu, kamu gimana? Galau?”
“Hmm. Terkadang kita cukup mudah membuka hati untuk menerima kehadiran seseorang.
Tapi apakah itu berarti kita juga sudah mencintai?”
Dia menatapku lurus-lurus. Alisnya lagi-lagi berkerut,
menunggu penjelasanku selanjutnya.
“Karena aku belum.” kataku.
Kemudian kami sama-sama tertawa lirih menyudahi obrolan
siang itu.
No comments:
Post a Comment