Saturday, 15 March 2014

Menghitung Peluang Kematian

Hai, Assalamualaikum..
Wohoo, judul di atas terdengar terlihat kontroversial kan? eh nggak ya?
Kali ini saya mau sharing pengalaman sangat-sangat berharga, eumm sekalian mau curhat sih sebenernya.

Beberapa waktu lalu saya sempat lihat berita Jakata banjir di televisi. Ngeri sih ya, tapi karena nggak ngalamin sendiri jadi ya gak ngeri-ngeri banget lah. Nah, baru kemarin lusa saya benar-benar merasakan kengerian banjir, sampai saya menyesal pernah menyepelekan banjir sebagai bencana yang ecek-ecek (maksudnya dibandingkan gempa, tsunami, gunung meletus gitu)

Cerita bermula dari niat saya pulang ke rumah (fyi, tiap Kamis saya pulang ke rumah, jadi jangan nyari saya di kosan #pede amat). Sore itu langit mendung parah. Sejauh mata memandang, yang terlihat hanya warna abu-abu pekat. Karena sudah nggak tahan kangen keluarga dan rumah, yasudahlah saya nekat pulang walaupun tahu konsekuensinya : terjebak macet dan banjir.

FYI, rumah saya berada di Surabaya barat sedangkan kampus ada di Surabaya timur. Rumah Alhamdulillah nggak pernah kena banjir. Tapi jalan menuju rumah lah yang amit-amit banget kalau lagi banjir.
Dan benar, saat itu semua jalan akses menuju rumah dilanda banjir tinggi. Sialnya, angkutan umum yang saya naiki tidak bisa melanjutkan perjalanan. Bapak sopir yang baik hati pun menurunkan semua penumpangnya di tengah jalan, yang kira-kira jaraknya masih 5km dari rumah saya.

Ketika saya turun dari angkot, ternyata banjirnya se pangkal paha. Fuuuh. Yasudahlah, jalanlah saya bersama beberapa orang. Kami saling bantu, berpegangan, payungan sama-sama, sampai kami tiba tepat di sebelah proyek pembangunan jalan dan pengerukan sungai, banjirnya sudah nggak seberapa, karena saya lewat tepian sungai yang tanahnya agak tinggi.

Itu lah peluang kematian pertama.
Tepat disebelah kiri saya adalah proyek pengerukan sungai. Sungai selebar 5-6 meter berarus ‘cukup’ deras tersebut punya pagar pembatas seadanya. Lebih tepatnya bukan pagar pembatas sih, hanya pembatas besi kecil-kecil yang kalau saya dorong pun mungkin akan jatuh ke sungai dengan mudah, dan nggak sepanjang sisi sungai memiliki pembatas, justru banyak yang nggak ada.

Well, sebelah kiri saya sungai berarus deras, sebelah kanan saya kerumunan kendaraan yang berebut jalan, pijakan saya adalah rerumputan berlumpur. Sekali saya terpeleset dan jatuh ke kiri, mungkin tak banyak yang bisa dilakukan :) Syukurlah, Allah masih memberi saya kesempatan.
 
Semakin jauh berjalan, teman-teman pejalan pun banyak yang mencar ke arah rumah masing-masing, sampai akhirnya saya benar-benar sendirian. Cukup jauh berjalan, saya memutuskan mengambil jalan ‘aman’. Lepas dari proyek pengerukan sungai karena saat Bapak saya menelepon, beliau terdengar sangat khawatir. Anyway, Bapak mau jemput saya juga nggak bisa, semua akses menuju rumah terhalang banjir besaaaaar.

Akhirnya, saya melewati medan kedua, dan sekali lagi menjumpai banjir setinggi pangkal paha dengan arus yang lebih deras. Jalanan kali ini nggak seramai jalan yang saya lewati tadi. Sepi. Nggak ada orang. Lebih banyak tanah kosong dan rawa daripada rumah manusia. Dan yang paling parah, gelap :(

Saya benar-benar sendirian.

Ini lah peluang kematian kedua.
Saat itu kaki saya sudah mati rasa. Namun entah kenapa masih bisa saja digerakkan. Sekali saya lengah, jatuh terbawa arus, tidak banyak yang bisa saya lakukan. Saya tidak bisa berenang. Nilai renang saya waktu SMA parah buuuanget, dan saat itu benar-benar tidak ada orang selain mas-mas yang dorong motor dan jauh sekali di depan saya. Sekali lagi, Allah masih memberi saya kesempatan.

Masih di lokasi yang tidak jauh dari situ, masih banjir tinggi, akhirnya saya bertemu dengan seorang bapak-bapak. Saya tersenyum, beliau tersenyum. Beberapa detik kemudian, sebuah tiang besi (tiang nama jalan) yang hanya beberapa meter di depan saya tiba-tiba terjatuh. Itulah peluang ketiga. Jika saya tidak sibuk senyum dan menyapa bapak-bapak, mungkin tiang itu sudah jatuh menimpa saya. Bisa saja saya tertimpa tiang, kemudian terpeleset, dan selanjutnya terserah padaNya.

Namun, Dia masih saja memberi saya kesempatan.

Sepanjang jalan selanjutnya saya semakin letih. Banjir masih tinggi. Badan mulai menggigil, dan kaki sudah nggak sekuat sebelumnya. Padahal arus semakin menjadi-jadi.
Saat-saat seperti ini, dengan konyolnya saya masih bisa berandai-andai. Bagaimana jika tiba-tiba saya bertemu mas-mas jodoh? Mungkin dia anggota tim SAR yang nggak sengaja patroli dengan helikopter dan menemukan gadis unyu-unyu sedang merana? Lalu menyelamatkannya?
Alih-alih ingin berandai-andai lebih jauh, tiba-tiba saya justru terngiang-ngiang suara Kamal Uddin membacakan Surah Ar-Rahman.
Memang sih paginya saya sempat dengerin beliau ngaji. *ceritanya lagi ngefans banget sama suaranya Kamal Uddin*

Setelah terngiang-ngiang itu lah saya jadi berpikir, saya tidak sendiri, bahkan saya nggak perlu mas-mas berhelikopter. Saya merasa saya sedang bersamaNya, Ar Rahman. Dia Yang Maha Pengasih. Tidak ada yang lebih aman selain bersamaNya.

Peluang terakhir, saya harus melewati arus deras di persimpangan jalan dengan kaki yang sudah tidak bisa lagi diajak kompromi. Ada banyak orang di sana. Tapi tentu saja orang-orang berada di tepian. Sedangkan saya tetap harus berjalan ditengah jalan sendirian.
Saat itu saya benar-benar nggak kuat. Rasanya kaki sudah nggak kuat menopang tubuh. Ditambah lagi mental saya down ketika Ibu telepon dengan suara cemas, memberitahukan bahwa ada perempuan yang pingsan karena kecapekan dan kedinginan.

Anyway, beberapa hari sebelumnya saya sempat sakit ringan. Ceritanya baru aja sembuh dan sudah dapat ‘hadiah’ ini.

Akhirnya saya tetap lanjut berjalan. Banyak sampah dan kayu-kayu berceceran, ikut mendorong kaki saya yang makin goyah. Namun saya masih percaya, bahwa Ar Rahman masih bersama saya, apapun yang terjadi nantinya.
Alhamdulillah, rintangan terakhir terlewati. Diujung jalan, Bapak saya sudah menunggu dengan wajah yang sangat cemas. Beliau tetap menjemput walau jarak rumah hanya tinggal beberapa meter saja.
Di rumah, ibu menyambut dengan pelukan dan ciuman di kening. Semua pegal hilang.

Hari itu saya merasa sangat dekat dengan kematian. Dia Yang Maha Pengasih tentu bisa kapan saja memerintahkan Izroil untuk menjemput saya. Namun, Ar Rahman masih mengijinkan saya untuk hidup. Mungkin Dia ingin menunjukkan kebesaranNya pada saya, kuasaNya pada saya. Mungkin Dia ingin mengajarkan saya arti sabar, juga arti berserah. Mungkin Dia rindu pada saya yang sering mendua, dan dengan cara ini lah Dia menuntun saya agar mengingatNya. Mungkin juga, Dia ingin menunjukkan pada saya, betapa saya turut andil merusak bumiNya, menjadikannya lautan kotoran ketika hujan tiba. Atau mungkin, Dia ingin melihat saya memakai rok ke kampus keesokan harinya, karena saya kehabisan jeans :D

Apapun itu, saya yakin Dia ingin memberi saya pelajaran yang baik. Terimakasih Yaa Rahman. Maafkan saya sering mengecewakanMu.

Itu lah kisah saya, yang mungkin tidak ada apa-apanya dengan korban bencana lainnya. Untuk saudara-saudaraku yang sedang dilanda nestapa, semoga Allah tetap mencurahkan kasih sayangNya pada kita semua, agar kita tetap menjadi pribadi yang sabar, tawakal, dan lulus dalam ujianNya.

Terakhir, saya ingin share video berikut, silahkan dinikmati suara dan terjemahannya yang menurut saya jleb banget. Maka, nikmat Tuhan kamu yang manakah yang kamu dustakan? :')



No comments:

Post a Comment