Hai,
Assalamualaikum..
Wohoo, judul
di atas terdengar terlihat kontroversial kan? eh nggak ya?
Kali ini
saya mau sharing pengalaman sangat-sangat berharga, eumm sekalian mau curhat
sih sebenernya.
Beberapa
waktu lalu saya sempat lihat berita Jakata banjir di televisi. Ngeri sih ya,
tapi karena nggak ngalamin sendiri jadi ya gak ngeri-ngeri banget lah. Nah,
baru kemarin lusa saya benar-benar merasakan kengerian banjir, sampai saya
menyesal pernah menyepelekan banjir sebagai bencana yang ecek-ecek (maksudnya
dibandingkan gempa, tsunami, gunung meletus gitu)
Cerita
bermula dari niat saya pulang ke rumah (fyi, tiap Kamis saya pulang ke rumah,
jadi jangan nyari saya di kosan #pede amat). Sore itu langit mendung parah.
Sejauh mata memandang, yang terlihat hanya warna abu-abu pekat. Karena sudah
nggak tahan kangen keluarga dan rumah, yasudahlah saya nekat pulang walaupun
tahu konsekuensinya : terjebak macet dan banjir.
FYI, rumah
saya berada di Surabaya barat sedangkan kampus ada di Surabaya timur. Rumah
Alhamdulillah nggak pernah kena banjir. Tapi jalan menuju rumah lah yang
amit-amit banget kalau lagi banjir.
Dan benar,
saat itu semua jalan akses menuju rumah dilanda banjir tinggi. Sialnya,
angkutan umum yang saya naiki tidak bisa melanjutkan perjalanan. Bapak sopir
yang baik hati pun menurunkan semua penumpangnya di tengah jalan, yang
kira-kira jaraknya masih 5km dari rumah saya.
Ketika saya
turun dari angkot, ternyata banjirnya se pangkal paha. Fuuuh. Yasudahlah,
jalanlah saya bersama beberapa orang. Kami saling bantu, berpegangan, payungan
sama-sama, sampai kami tiba tepat di sebelah proyek pembangunan jalan dan
pengerukan sungai, banjirnya sudah nggak seberapa, karena saya lewat tepian
sungai yang tanahnya agak tinggi.
Itu lah
peluang kematian pertama.
Tepat
disebelah kiri saya adalah proyek pengerukan sungai. Sungai selebar 5-6 meter
berarus ‘cukup’ deras tersebut punya pagar pembatas seadanya. Lebih tepatnya bukan
pagar pembatas sih, hanya pembatas besi kecil-kecil yang kalau saya dorong pun
mungkin akan jatuh ke sungai dengan mudah, dan nggak sepanjang sisi sungai memiliki
pembatas, justru banyak yang nggak ada.
Well, sebelah
kiri saya sungai berarus deras, sebelah kanan saya kerumunan kendaraan yang
berebut jalan, pijakan saya adalah rerumputan berlumpur. Sekali saya terpeleset
dan jatuh ke kiri, mungkin tak banyak yang bisa dilakukan :) Syukurlah, Allah masih
memberi saya kesempatan.
Semakin jauh
berjalan, teman-teman pejalan pun banyak yang mencar ke arah rumah
masing-masing, sampai akhirnya saya benar-benar sendirian. Cukup jauh berjalan,
saya memutuskan mengambil jalan ‘aman’. Lepas dari proyek pengerukan sungai
karena saat Bapak saya menelepon, beliau terdengar sangat khawatir. Anyway,
Bapak mau jemput saya juga nggak bisa, semua akses menuju rumah terhalang
banjir besaaaaar.
Akhirnya,
saya melewati medan kedua, dan sekali lagi menjumpai banjir setinggi pangkal
paha dengan arus yang lebih deras. Jalanan kali ini nggak seramai jalan yang
saya lewati tadi. Sepi. Nggak ada orang. Lebih banyak tanah kosong dan rawa
daripada rumah manusia. Dan yang paling parah, gelap :(
Saya
benar-benar sendirian.
Ini lah
peluang kematian kedua.
Saat itu
kaki saya sudah mati rasa. Namun entah kenapa masih bisa saja digerakkan.
Sekali saya lengah, jatuh terbawa arus, tidak banyak yang bisa saya lakukan.
Saya tidak bisa berenang. Nilai renang saya waktu SMA parah buuuanget, dan saat
itu benar-benar tidak ada orang selain mas-mas yang dorong motor dan jauh
sekali di depan saya. Sekali lagi, Allah masih memberi saya kesempatan.
Masih di
lokasi yang tidak jauh dari situ, masih banjir tinggi, akhirnya saya bertemu
dengan seorang bapak-bapak. Saya tersenyum, beliau tersenyum. Beberapa detik
kemudian, sebuah tiang besi (tiang nama jalan) yang hanya beberapa meter di
depan saya tiba-tiba terjatuh. Itulah peluang ketiga. Jika saya tidak sibuk
senyum dan menyapa bapak-bapak, mungkin tiang itu sudah jatuh menimpa saya.
Bisa saja saya tertimpa tiang, kemudian terpeleset, dan selanjutnya terserah
padaNya.
Namun, Dia
masih saja memberi saya kesempatan.
Sepanjang
jalan selanjutnya saya semakin letih. Banjir masih tinggi. Badan mulai
menggigil, dan kaki sudah nggak sekuat sebelumnya. Padahal arus semakin
menjadi-jadi.
Saat-saat
seperti ini, dengan konyolnya saya masih bisa berandai-andai. Bagaimana jika
tiba-tiba saya bertemu mas-mas jodoh? Mungkin dia anggota tim SAR yang nggak
sengaja patroli dengan helikopter dan menemukan gadis unyu-unyu sedang merana?
Lalu menyelamatkannya?
Alih-alih
ingin berandai-andai lebih jauh, tiba-tiba saya justru terngiang-ngiang suara
Kamal Uddin membacakan Surah Ar-Rahman.
Memang sih
paginya saya sempat dengerin beliau ngaji. *ceritanya lagi ngefans banget sama
suaranya Kamal Uddin*
Setelah
terngiang-ngiang itu lah saya jadi berpikir, saya tidak sendiri, bahkan saya
nggak perlu mas-mas berhelikopter. Saya merasa saya sedang bersamaNya, Ar
Rahman. Dia Yang Maha Pengasih. Tidak ada yang lebih aman selain bersamaNya.
Peluang
terakhir, saya harus melewati arus deras di persimpangan jalan dengan kaki yang
sudah tidak bisa lagi diajak kompromi. Ada banyak orang di sana. Tapi tentu
saja orang-orang berada di tepian. Sedangkan saya tetap harus berjalan ditengah
jalan sendirian.
Saat itu
saya benar-benar nggak kuat. Rasanya kaki sudah nggak kuat menopang tubuh.
Ditambah lagi mental saya down ketika Ibu telepon dengan suara cemas,
memberitahukan bahwa ada perempuan yang pingsan karena kecapekan dan
kedinginan.
Anyway,
beberapa hari sebelumnya saya sempat sakit ringan. Ceritanya baru aja sembuh
dan sudah dapat ‘hadiah’ ini.
Akhirnya
saya tetap lanjut berjalan. Banyak sampah dan kayu-kayu berceceran, ikut
mendorong kaki saya yang makin goyah. Namun saya masih percaya, bahwa Ar Rahman
masih bersama saya, apapun yang terjadi nantinya.
Alhamdulillah,
rintangan terakhir terlewati. Diujung jalan, Bapak saya sudah menunggu dengan
wajah yang sangat cemas. Beliau tetap menjemput walau jarak rumah hanya tinggal
beberapa meter saja.
Di rumah,
ibu menyambut dengan pelukan dan ciuman di kening. Semua pegal hilang.
Hari itu
saya merasa sangat dekat dengan kematian. Dia Yang Maha Pengasih tentu bisa
kapan saja memerintahkan Izroil untuk menjemput saya. Namun, Ar Rahman masih mengijinkan
saya untuk hidup. Mungkin Dia ingin menunjukkan kebesaranNya pada saya,
kuasaNya pada saya. Mungkin Dia ingin mengajarkan saya arti sabar, juga arti
berserah. Mungkin Dia rindu pada saya yang sering mendua, dan dengan cara ini
lah Dia menuntun saya agar mengingatNya. Mungkin juga, Dia ingin menunjukkan
pada saya, betapa saya turut andil merusak bumiNya, menjadikannya lautan
kotoran ketika hujan tiba. Atau mungkin, Dia ingin melihat saya memakai rok ke
kampus keesokan harinya, karena saya kehabisan jeans :D
Apapun itu,
saya yakin Dia ingin memberi saya pelajaran yang baik. Terimakasih Yaa Rahman.
Maafkan saya sering mengecewakanMu.
Itu lah
kisah saya, yang mungkin tidak ada apa-apanya dengan korban bencana lainnya. Untuk
saudara-saudaraku yang sedang dilanda nestapa, semoga Allah tetap mencurahkan
kasih sayangNya pada kita semua, agar kita tetap menjadi pribadi yang sabar,
tawakal, dan lulus dalam ujianNya.
Terakhir,
saya ingin share video berikut, silahkan dinikmati suara dan terjemahannya
yang menurut saya jleb banget. Maka, nikmat Tuhan kamu yang manakah yang kamu
dustakan? :')
No comments:
Post a Comment