Saturday, 7 December 2013

Desember Keempat [Cerpen]

ingin sekali ku katakan ‘aku suka padamu’
namun cinta ini siksa jika ku ‘gak ada kamu
hendak jiwa kan mengikatmu di sisi
namun berat untuk mengucap, cukup untuk kukagumi
- Bondan Prakoso - Bunga

Bulan Desember, musim penghujan yang selalu membuat hatiku sendu.

Terhitung sejak awal kita bertemu, sudah empat kali aku melalui musim hujan bersamamu. Bukan sebagai sepasang kekasih, namun sebagai sahabat yang selalu dekat. Begitu dekat hingga akhirnya aku tak mampu mengendalikan hatiku sendiri.

Namun setiap kali aku berharap lebih, kau selalu bisa meyakinkan bahwa persahabatan kita bukanlah sesuatu yang bisa ditukar dengan cinta. Apalagi model cinta seperti dalam drama.

Pernah sekali ku bertanya, apa kau bisa menyukai orang sepertiku?

“Tentu saja, jika kau bukan sahabatku.” Jawabmu waktu itu. Kau tersenyum sembari melihat bintang yang bertaburan di langit. Seolah tidak ingin menatapku. Seolah kau tahu bahwa bukan jawaban itu yang aku tunggu.

Maka sejak saat itu, aku putuskan untuk mengagumimu dalam diam. Menyatakannya dengan untaian doa di akhir sujud. Biar saja hanya aku dan Allah yang tahu.

Raffa sahabatku, aku selalu berpikir bahwa waktu adalah ujian. Dengan doa yang selalu teriring untukmu, harapan untuk memiliki pendamping sepertimu, terkadang aku begitu yakin Allah akan menghadiahkan waktu yang tepat untuk aku dan kamu. Waktu dimana kamu berpikir bahwa persahabatan kita akan lebih indah jika dibawa dalam ikatan yang kusebut pernikahan.

Namun waktu itu tak kunjung tiba.

Kau datang dan pergi, justru membawa cerita bahagia serta duka tentang perempuan lain. Walau tak tahu sampai kapan aku mampu bertahan, namun di hadapanmu aku selalu mencoba tersenyum, menutupi cemburu yang kadang begitu kuat menekan paru-paru, membuatku susah bernafas.

Sedangkan kisah cintaku, kau tak terlalu peduli. Bahkan ketika ada yang mengirimiku sebuket bunga mawar, entah dari siapa. Tanpa nama pengirim, tanpa sepatah kata pun.

Kau juga tak mau tahu.

“ah, mungkin nyasar kali.” Katamu santai, justru mengalihkan pembicaraan tentang kekasih barumu kemudian. Seperti biasanya, aku hanya mencoba menutupi cemburu.

Tak mengapa, bagiku yang penting aku masih menjadi tempatmu kembali. Walau kau selalu kembali dengan membawa cerita cinta tentang perempuan lain.

Dear Raffa, aku ingin menjadikan Desember kali ini sebagai musim hujan terakhir yang kulalui dengan sendu.

Seorang pria meminangku.

Ingin sekali aku bicara padamu sebelum memberikan jawaban padanya. Kesempatan terakhir untuk menyatakan perasaanku. Mungkin saja, kau bisa berubah pikiran.

Mungkin saja, sudah saatnya persahabatan kita ditukar dengan cinta.


Hari ini kau pun datang, dengan mata merah sayu. Raut wajah yang tertekuk dan lesu.

“Aku patah hati. Wanitaku sepertinya memiliki laki-laki lain, Rin. Aku patah hati.”

Lidahku mendadak kelu. Seperti biasa, kututup rasa cemburu dan mencoba menenangkanmu perlahan.
Tentu saja, aku tak akan bisa menyatakan perasaanku. Tidak sekarang, atau kapanpun itu.

“Aku akan menikah, Raf.” Kataku perlahan, sambil berharap kau terkejut dan mencegahku.

Kulihat kamu tersenyum, sambil menangis. Bahagia. Begitu bahagia.
Perlahan tapi pasti, sesak itu menjalar memenuhi rongga dadaku. Aku tahu, persahabatan kita tak akan pernah bisa kautukar dengan cinta.

***

Airin sahabatku, yang begitu dekat hingga banyak orang menganggap kita adalah sepasang kekasih. Aku ingat dulu kau sempat bertanya, apa aku bisa menyukaimu?

Tentu saja. Tentu saja bisa. Bahkan aku sudah menyukaimu sejak pertama kita bertemu, bulan Desember tiga tahun lalu.

Namun demi menjaga persahabatan kita – yang sepertinya kau jaga baik-baik, aku mengambil risiko untuk menjawab dengan jawaban yang lain.
Agar kamu tenang. Agar kamu senang.

Airin, aku selalu berpikir waktu adalah ujian. Namun sepertinya waktu tak pernah berpihak padaku. Mengapa kau selalu menikmati kisah cintaku dengan perempuan lain? Semakin aku berusaha membuatmu cemburu, semakin kau terlihat tidak tertarik sama sekali padaku.

Sekali waktu, aku ingin menukar persahabatan ini dengan cinta. Walau aku tahu sebuket mawar tidak pernah cukup untuk merepresentasikannya. Apalagi mawar yang dikirim oleh pengagum rahasia sepertiku. Tanpa nama. Tanpa pesan.

Terlalu banyakkah pria yang mendekatimu hingga tak kau sadari bahwa itu hadiah dariku?
Tidak jugakah kau sadari bahwa perempuan yang sering aku ceritakan padamu adalah dirimu sendiri?

Hari ini, bulan Desember tahun ketiga kita, disela-sela hujan yang tak kunjung reda, adikmu menelepon.

Seseorang meminangmu.

Aku dengar dia seorang yang sholeh, pandai, baik hati, dan pantas bersanding denganmu. Kau tahu bagaimana perasaanku? Bahkan aku sendiri tak bisa menceritakannya. Dengan kekuatan yang tersisa aku coba melangkahkan kaki ke rumahmu.

Mungkin saja kali ini waktu berpihak padaku, mungkin saja aku bisa mengungkapkan isi hati ini, lalu membuatmu berubah pikiran.

Mungkin saja, sudah saatnya persahabatan kita ditukar dengan cinta.

Namun melihatmu tersenyum di beranda rumah dan menyambutku dengan riang, membuat nyaliku menciut. Kau terlihat tidak sabaran, seperti ingin menyampaikan sesuatu yang sangat penting padaku. Aku tahu, Airin.

Aku tahu.

Aku tak mau terlihat patah hati setelah mendengar kabar bahagia darimu. Maka bolehkah aku berbohong untuk terakhir kalinya? Bolehkan aku berpura-pura tegar? Atau berpura-pura sedih atas sesuatu yang lain?

“Aku patah hati. Wanitaku sepertinya memiliki laki-laki lain.” Kataku.

Sekali lagi, kau tak pernah terlihat cemburu. Dengan lembut kau menasehati dan menenangkanku. Dan derai hujan yang mereda menjadi pengantar kalimatmu selanjutnya. Kau, berkata begitu tegas, seakan mengingatkan bahwa hari ini aku harus mulai berkemas-kemas, untuk melepasmu.

“Aku akan menikah, Raf.”

Maka demi persahabatan kita yang tak pernah bisa kautukar dengan cinta, aku berjanji akan berpura-pura bahagia.

---

thanks to Adzhani atas sharingnya di BonChon yang menginspirasi wkwk

No comments:

Post a Comment