Secangkir kopi dan tetes air gerimis hari ini membawa ingatan saya pada
musim hujan beberapa tahun lalu, saat saya masih duduk di bangku SMA.
Sore itu, saya mengikuti les di sebuah bimbingan belajar dengan wajah yang terlipat-lipat
seperti kertas origami. Tahun itu memang tahun terburuk bagi saya. Pasalnya,
saya terserang virus patah hati akut yang sangat menyita waktu, energi, dan
pikiran. Terdengar berlebihan sih ya, but that’s the fact, dan tentu saja saya
selalu menyesalinya.
Hari itu kelas diisi dengan pelajaran fisika oleh salah satu tentor favorit
saya, Pak Rahmat. Beliau ini sedikit-banyak tau lah kisah cinta picisan saya
(gimana nggak tau, saya cinlok sama teman sekelas! Duh!).
Setelah kelas usai, entah siapa yang memulai duluan, kami mengobrol. Saya
menanyakan satu hal bodoh pada beliau.
“Gimana sih Pak biar bisa ngelupain orang? Gimana biar bisa move on?”
kira-kira seperti itu. Alay kan ya?
Namun jawaban dari beliau benar-benar diluar ekspektasi. Singkat, jelas,
dan sukses mengalihkan perhatian saya.
“Tenang aja, Sella. Nanti juga lupa sendiri. Boro-boro cinta pada sesama
manusia, cinta dan iman pada Allah aja kadang nggak stabil kan? Bisa bertambah,
bisa berkurang, bahkan bisa hilang. Apalagi cinta sama manusia.” Seingat saya
itulah yang dikatakan beliau.
Jleb. Nasihat beliau memang tidak langsung membuat saya lupa si doi. Namun
jauh dari itu, justru membuat saya punya ‘masalah’ baru. Saya temukan satu
fakta yang mungkin pernah dialami semua orang, namun sedikit sekali yang
menyadarinya : kadar cinta pada Illahi yang bisa menurun.
Sejak hari itu, pemikiran saya berubah. Saya nggak lagi peduli tentang
bagaimana saya bisa melupakan orang lain. Saya lebih banyak bertanya-tanya,
gimana ya, kalau saya tiba-tiba melupakan Allah? Gimana ya, kalau cinta saya
pada Nya berkurang? Gimana ya kalau tiba-tiba saya malas mencintainya? Gimana
kalau iman saya pudar? Gimana kalau saya jauh dari Allah?
Saya harus ngapain?