Tuesday, 26 November 2013

Ketika Musim Hujan Menyapa


Secangkir kopi dan tetes air gerimis hari ini membawa ingatan saya pada musim hujan beberapa tahun lalu, saat saya masih duduk di bangku SMA.

Sore itu, saya mengikuti les di sebuah bimbingan belajar dengan wajah yang terlipat-lipat seperti kertas origami. Tahun itu memang tahun terburuk bagi saya. Pasalnya, saya terserang virus patah hati akut yang sangat menyita waktu, energi, dan pikiran. Terdengar berlebihan sih ya, but that’s the fact, dan tentu saja saya selalu menyesalinya.

Hari itu kelas diisi dengan pelajaran fisika oleh salah satu tentor favorit saya, Pak Rahmat. Beliau ini sedikit-banyak tau lah kisah cinta picisan saya (gimana nggak tau, saya cinlok sama teman sekelas! Duh!).

Setelah kelas usai, entah siapa yang memulai duluan, kami mengobrol. Saya menanyakan satu hal bodoh pada beliau.

“Gimana sih Pak biar bisa ngelupain orang? Gimana biar bisa move on?” kira-kira seperti itu. Alay kan ya?

Namun jawaban dari beliau benar-benar diluar ekspektasi. Singkat, jelas, dan sukses mengalihkan perhatian saya.

“Tenang aja, Sella. Nanti juga lupa sendiri. Boro-boro cinta pada sesama manusia, cinta dan iman pada Allah aja kadang nggak stabil kan? Bisa bertambah, bisa berkurang, bahkan bisa hilang. Apalagi cinta sama manusia.” Seingat saya itulah yang dikatakan beliau.

Jleb. Nasihat beliau memang tidak langsung membuat saya lupa si doi. Namun jauh dari itu, justru membuat saya punya ‘masalah’ baru. Saya temukan satu fakta yang mungkin pernah dialami semua orang, namun sedikit sekali yang menyadarinya : kadar cinta pada Illahi yang bisa menurun.

Sejak hari itu, pemikiran saya berubah. Saya nggak lagi peduli tentang bagaimana saya bisa melupakan orang lain. Saya lebih banyak bertanya-tanya, gimana ya, kalau saya tiba-tiba melupakan Allah? Gimana ya, kalau cinta saya pada Nya berkurang? Gimana ya kalau tiba-tiba saya malas mencintainya? Gimana kalau iman saya pudar? Gimana kalau saya jauh dari Allah?

Saya harus ngapain?

Friday, 8 November 2013

Mendung di Denpasar

Finally done! haha
Well, saya jelaskan singkat dulu ya, ini cerita sambungan dari cerita teman saya sebelumnya. Jadi kita bikin cerita bersambung yang nyambung-nyambung gitu *apasih*. oke buat yang penasaran, cerita sebelumnya ada di link ini : Why Always Me? (ps : itu cerita ke dua, btw). oke, enjoy the show.

...



“Sometimes I need to remember just to breathe
Sometimes I need you to stay away from me
Sometimes I’m in disbelief I didn’t know
Somehow I need you to go”

Sudah belasan – ah, mungkin puluhan kali nada dering itu berputar. 

“Ya?” jawabku sekenanya sambil menarik selimut yang mulai turun, masih dengan mata terpejam.
Sekuat tenaga aku coba menangkap apa yang disampaikan seseorang di ujung sana. Pukul sebelas, katanya. Pukul sebelas, kucatat dalam otakku. Ya, pukul sebelas siang.

Mataku terbuka. Terkesiap.

“Nanti aku telepon balik.” Buru-buru ku tutup ponsel, cepat-cepat duduk dan memahami situasi.

Shit! Siapa yang mengganti pakaianku?
Ah, kepalaku masih pusing, berat, dan lelah. Jangankan untuk mengingat apa yang terjadi kemarin atau siapa yang membawaku kemari, untuk berpikir apa yang harus ku lakukan sekarang saja rasanya nggak bisa.

“Toilet disebelah sana, bukan disini”

Ah ya, aku ingat. Terakhir aku berhalusinasi tentang Jo. Tak ku kira, terlalu banyak wine bisa membuat orang berhalusinasi. Lalu? Setelah itu? Bukankah semuanya gelap? Entahlah. Aku benar-benar tak ingin berpikir.

“Sudah bangun ya?”

Aroma maskulin yang sangat ku kenal menguar begitu saja ketika seseorang berjalan mendekat, membuyarkan lamunanku barusan. Langkah kakinya yang halus membuatku sedikit tercekat. Tentu, aku kenal suara itu. Juga wangi badannya. Ya, wangi masa lalu.
Ku dengar langkah kaki terakhirnya sebelum ia berhenti tepat di bibir ranjang, menyodoriku sebuah apel.

Aku menoleh refleks.
Dia tersenyum. Hangat, tapi aku membencinya.
Ku tepis tangannya hingga apel itu terjatuh, berdebum menatap lantai kayu kamar ini dan memecah hening diantara kami untuk sesaat.

“Oh, jadi ini sambutanmu untuk kawan lama?”
Senyum itu masih mengembang di wajahnya. Senyum yang selalu aku rindukan di malam-malam yang panjang. Tapi sayang, sekarang aku sedang tidak ingin basa-basi dengannya.