Pages

Tuesday, 26 November 2013

Ketika Musim Hujan Menyapa


Secangkir kopi dan tetes air gerimis hari ini membawa ingatan saya pada musim hujan beberapa tahun lalu, saat saya masih duduk di bangku SMA.

Sore itu, saya mengikuti les di sebuah bimbingan belajar dengan wajah yang terlipat-lipat seperti kertas origami. Tahun itu memang tahun terburuk bagi saya. Pasalnya, saya terserang virus patah hati akut yang sangat menyita waktu, energi, dan pikiran. Terdengar berlebihan sih ya, but that’s the fact, dan tentu saja saya selalu menyesalinya.

Hari itu kelas diisi dengan pelajaran fisika oleh salah satu tentor favorit saya, Pak Rahmat. Beliau ini sedikit-banyak tau lah kisah cinta picisan saya (gimana nggak tau, saya cinlok sama teman sekelas! Duh!).

Setelah kelas usai, entah siapa yang memulai duluan, kami mengobrol. Saya menanyakan satu hal bodoh pada beliau.

“Gimana sih Pak biar bisa ngelupain orang? Gimana biar bisa move on?” kira-kira seperti itu. Alay kan ya?

Namun jawaban dari beliau benar-benar diluar ekspektasi. Singkat, jelas, dan sukses mengalihkan perhatian saya.

“Tenang aja, Sella. Nanti juga lupa sendiri. Boro-boro cinta pada sesama manusia, cinta dan iman pada Allah aja kadang nggak stabil kan? Bisa bertambah, bisa berkurang, bahkan bisa hilang. Apalagi cinta sama manusia.” Seingat saya itulah yang dikatakan beliau.

Jleb. Nasihat beliau memang tidak langsung membuat saya lupa si doi. Namun jauh dari itu, justru membuat saya punya ‘masalah’ baru. Saya temukan satu fakta yang mungkin pernah dialami semua orang, namun sedikit sekali yang menyadarinya : kadar cinta pada Illahi yang bisa menurun.

Sejak hari itu, pemikiran saya berubah. Saya nggak lagi peduli tentang bagaimana saya bisa melupakan orang lain. Saya lebih banyak bertanya-tanya, gimana ya, kalau saya tiba-tiba melupakan Allah? Gimana ya, kalau cinta saya pada Nya berkurang? Gimana ya kalau tiba-tiba saya malas mencintainya? Gimana kalau iman saya pudar? Gimana kalau saya jauh dari Allah?

Saya harus ngapain?

Ketika saya mendapat masalah hati dengan anak cucu Adam, mudah saja solusinya. Tinggal berdoa pada sang Maha Membolak-balikkan Hati manusia. Namun kepada siapa saya harus meminta ketika hubungan dengan Pencipta lah yang mengalami masalah? Apa saya sanggup bersimpuh dan berdoa ketika sholat saja lupa dan enggan?

Saya terus berpikir, tanpa beroleh jawaban.

Dan benar saja, dalam lika-liku kehidupan, tidak jarang saya berada pada titik jenuh. Titik dimana saya capek beribadah. Titik dimana saya malas ‘menyapa’ nya. Titik dimana saya disibukkan oleh urusan duniawi hingga lupa pada Nya. Seperti sebuah fase dimana saya merasa tidak terlalu membutuhkan Nya (tenang saja, anda nggak salah baca).

Saya benar-benar pernah mengalami penurunan iman, dan jujur saja, hal itu sangat menyiksa. Karena saya butuh cukup banyak waktu untuk kembali mengingatNya. Bayangkan saja, dulu pernah dalam satu bulan, sholat lima waktu saya nggak ada yang penuh, satu hari pun! Kadang malah nggak sholat sama sekali dalam sehari. Parah kan?

Pemulihan itu lah yang bikin saya capek. Bikin saya nangis menyesal ketika sadar sudah menyia-nyiakan waktu saya untukNya. Bikin saya malu karena terang-terangan menjauhiNya. Dan parahnya itu semua terus berputar, menjadi sebuah lifecycle yang nggak bisa berhenti. Hari ini saya insaf, nangis, besok saya ogah-ogahan lagi ibadahnya. Asli, bikin capek hati.

Akhirnya, beberapa waktu lalu ketika saya sibuk membaca, saya teringat bahwa mencegah selalu lebih baik daripada mengobati. Dan saya menemukan cara pencegahan tersebut ;)

‘Kaitkan saja dengan hobi!’ begitu kata hati saya menasehati.

Saya masih tetap percaya bahwa urusan duniawi memang lebih menarik daripada urusan akhirat dan urusan dengan Nya, ya kan? Kalau nggak gitu, nggak bakal surga dihadiahkan untuk orang-orang tertentu. Karena memang sangat sedikit orang yang mau dan mampu menomorsatukan urusan akhirat. Banyak banget godaannya!

Tapi, sebenarnya kita dapat memanfaatkan kesenangan dunia sebagai tools untuk memperkuat iman. Memanfaatkan hobi misalnya.

Saya suka membaca dan saya mulai menerapkan aturan main baru untuk saya patuhi sendiri :

Dear Sella, ketika kamu mulai bosan dan jenuh, baca buku-buku kerohanian. Beli buku yang menarik, yang sekiranya dapat membantu masalahmu. Baca setiap kali kamu berkata ‘ah, nanti dulu sholatnya’.

Sejauh ini, cara saya berhasil – setidaknya lebih efektif ketimbang saya cuma melakukan ‘pengobatan’ dan ‘penyembuhan’ yang memakan waktu cukup banyak.

Manusia lebih suka melakukan hal-hal yang disenanginya, namun sedikit manusia yang memutuskan untuk senang beribadah. Maka manfaatkan saja ‘kesenangan’ (baca : hobi) itu sebagai hal yang positif dan bisa mengantarkan kita pada senang beribadah.

Namun, sepanda-pandai manusia menjaga, yang namanya hati toh gampang sekali terombang-ambing. Boro-boro baca buku religi untuk memperkuat iman, nah kadang baca artikel pendek aja males ya toh?

Mungkin kalau menurut pak Radit, salah satu dosen favorit saya, ini mah udah termasuk permasalahan yang membutuhkan ‘self motivation’ untuk menanganinya. Benar, benar-benar cuma butuh kemauan dan motivasi dari diri sendiri untuk melakukannya.

‘Mintalah padaNya agar membuatmu haus akan cintaNya setiap saat. Mintalah untuk selalu lurus. Mintalah agar kamu bisa tergila-gila padaNya. Mintalah agar kamu dipentung ketika kamu lengah. Mintalah, selagi kamu belum malas meminta’

Itu lah nasihat terakhir dari hati kecil saya. Satu PR saya terjawab, namun belum tertuntaskan. Saya ingin punya banyak cara pencegahan, karena pengobatan hanya akan bikin capek.

Begitulah cara saya, bagaimana dengan anda?

Alih-alih ingin menginspirasi orang lain, saya hanya bisa berharap tulisan ini mampu menggelitik hati saya sendiri ketika saya mulai lalai.  Karena jika ada yang harus tersindir akan kualitas iman yang sering menurun, sayalah orang pertama yang tersindir akan tulisan ini. Jadi mohon maaf apabila ada kalimat saya yang menyakiti hati anda.

Terakhir, saya kutip petuah bijak dari Ahmad Rifa’i Rif’an dalam bukunya Tuhan, Maaf, Kami Sedang Sibuk :

“Untuk tetap merasakan kebahagiaan di dunia yang sudah carut marut ini, yang lebih kita butuhkan adalah kedekatan kita dengan Tuhan.”

No comments:

Post a Comment