Wednesday 24 December 2014

Toko Boneka [Cerpen]

Pria maskulin itu berdiri mematung di depan belasan boneka. Tangannya bertopang dagu. Sulit untuk mempercayai dirinya sendiri yang hari ini rela melangkahkan kaki pergi ke mall hanya demi mengunjungi salah satu gift shop. Sulit pula percaya bahwa ia sudi memasuki toko dengan interior yang didominasi pink, peach, dengan sedikit hijau pastel yang terkesan begitu centil di matanya.

Ia benar-benar merasa seperti sedang berada diantara alam sadar dan mimpi. Benar-benar diantara keduanya. Bukankah terlihat aneh melihat sales manager perusahaan besar yang begitu klimis, tegas, dan nampak berwibawa dengan setelan jas formalnya berada dalam sebuah toko yang menurutnya terlalu cerah ceria?

"Mencari kado seperti apa, Pak?" suara itu membuyarkan lamunannya.

Dilihatnya perempuan mungil yang tersenyum lembut dan telah berdiri sejajar dengannya, mengenakan seragam senada dengan warna interior toko, lengkap dengan bandana berpita polkadot yang membungkus anak rambutnya sehingga terlihat rapi.

Mendadak ia merasa geli sendiri.

Konyol rasanya jika hari ini ia harus membuang prinsip dan janjinya jauh-jauh. Bagaimanapun, ia tetap tidak suka toko boneka, atau gift shop, atau toko aksesoris, atau apalah orang menyebutnya.

"Saya mau boneka beruang yang paling besar. Warna pink." pria itu tersenyum. Terpaksa. "ah ya, sekalian pita dan jepit rambut pink yang itu." lanjutnya seraya menunjuk aksesoris rambut yang ia maksud.

Cepat-cepat ia menuju kasir.
Ia sedang terburu-buru. Bukan dikejar waktu, melainkan diburu ketidaknyamanan, selaksa kenangan, juga sedikit rindu.

Monday 22 December 2014

Untukmu Ibu

Assalamualaikum.

Ibu, mungkin engkau akan membaca ini suatu hari. Atau mungkin saja tidak.

Ibu, maafkan aku yang hingga kini masih sering lupa caranya berbakti. Terlebih lagi, di minggu-minggu terakhir ini.

Maafkan aku yang sibuk sendiri mengurus ini itu tanpa bisa membantumu mengurus pekerjaan rumah. Walau mungkin tak mengapa bagimu asalkan urusan kuliah anakmu ini berjalan lancar.

Maafkan aku yang tak bisa bahkan hanya membantu menyapu rumah di sore hari karena petang aku baru bisa pulang. Walau mungkin tak mengapa bagimu karena yang terpenting adalah putrimu ini bisa sampai rumah dengan selamat, seperti yang sering engkau katakan.

Ibu, maafkan aku yang akhir-akhir ini hanya bisa menyediakan sedikit waktu untuk menemanimu, yang parahnya lebih sering aku isi dengan keluhan atas rasa lelahku. Maafkan aku yang kini hampir tidak pernah menemanimu berbelanja ke pasar, apalagi membantumu memasak. Walau engkau sering memaklumi asalkan waktu yang kumiliki dapat kumanfaatkan sebaik-baiknya.

Ibu, terimakasih untuk semua doa dan dukungan yang selalu engkau berikan padaku. Terimakasih telah memaksaku menyendok nasi saat aku sendiri mulai tak bisa merasakan lapar. Terimakasih karena masih memberiku kasih dan perhatian bahkan setelah pusat perhatianku berubah pada hal-hal yang lain.

Ibu, bersabarlah karena yang aku lakukan saat ini tak lain adalah untuk membuatmu bangga. Percayalah bahwa putrimu kini sedang berusaha bagaimanapun caranya untuk mengukir senyum cantik di wajahmu. Putrimu yang sering merasa sok tangguh ini sedang menangis pada Tuhannya agar dapat memberikan yang terbaik untuk orang tuanya. Putrimu kini sedang jatuh-bangun ingin membahagiakan ibu juga bapaknya. Tunggulah sebentar saja, Ibu.

Ibu, diantara semua sakit hati yang kuberikan padamu, aku yakin engkau tahu bahwa aku sangat mencintaimu. Walau tentu saja, selamanya cintaku tak akan bisa lebih besar daripada milikmu.


Ibu, semoga Allah selalu memberikan kebahagiaan dalam hatimu. Doakan anakmu ini agar usahanya bersambut keberhasilan.

Selamat hari Ibu wahai Ibu terbaik sepanjang masa, semoga Allah selalu mencurahkan rahmatNya pada Ibu, memberi Ibu kesehatan dan kebahagiaan, melapangkan hati Ibu, dan mengabulkan doa-doa Ibu.

Aku sangat menyayangimu, Ibu.