Friday 21 March 2014

Wanita Karir atau Ibu Rumah Tangga?

Assalamualaikum..
Alhamdulillah, akhirnya bisa nyempetin nulis apa yang ingin kutulis dari dulu.

Wanita karir atau ibu rumah tangga?
Sebenarnya, pertanyaan tersebut tidak pernah saya tanyakan pada perempuan lain. Tidak pada teman dekat saya, kakak sepupu saya, atau perempuan manapun. Saya justru sering sekali mengajukan pertanyaan itu pada diri sendiri.

"Jika nanti kau menjadi istri, atau bahkan sudah menjadi ibu, manakah yang akan kau pilih, wanita karir atau ibu rumah tangga?"

Saya yakin, banyak perempuan yang dilema dengan pertanyaan-pertanyaan semacam itu. Tidak dapat dipungkiri, kita memang tidak sedang hidup di era Kartini, dimana peran perempuan dalam masyarakat masih sangat kecil. Saat ini peran perempuan di masyarakat sudah semakin besar, pendidikan untuk perempuan pun semakin baik, lapangan pekerjaan juga lebih menjamin, dan daya saing perempuan dengan laki-laki semakin tinggi. Hal tersebut lah yang menyebabkan beberapa perempuan lebih memilih menjadi wanita karir daripada ibu rumah tangga.
Saya tidak bilang bahwa menjadi wanita karir adalah sebuah kesalahan. Tidak ada yang salah, memang. Bagi seorang wanita, kedua profesi tersebut adalah sebuah pilihan yang sama-sama memiliki kelebihan dan kekurangan masing-masing. Namun, kesalahan yang sering dilakukan wanita adalah melupakan tanggung-jawab utamanya.

Banyak perempuan yang salah kaprah memahami arti emansipasi. Emansipasi wanita disuarakan bukan agar seorang wanita melampaui kodratnya. Ibu Kartini menyuarakan emansipasi untuk pendidikan wanita yang saat itu ia nilai kurang layak jika dibanding pria, bukan untuk menggeser kewajiban utama seorang perempuan dalam keluarga.

Sekali lagi, tidak ada yang salah dalam diri wanita karir. Yang salah itu, ketika ia melupakan tugasnya sebagai seorang istri yang harus taat pada suami, dan seorang ibu yang harus mendidik putra-putrinya dengan penuh kasih.

Bukankah hal itu adalah pekerjaan ibu rumah tangga?

Saturday 15 March 2014

Menghitung Peluang Kematian

Hai, Assalamualaikum..
Wohoo, judul di atas terdengar terlihat kontroversial kan? eh nggak ya?
Kali ini saya mau sharing pengalaman sangat-sangat berharga, eumm sekalian mau curhat sih sebenernya.

Beberapa waktu lalu saya sempat lihat berita Jakata banjir di televisi. Ngeri sih ya, tapi karena nggak ngalamin sendiri jadi ya gak ngeri-ngeri banget lah. Nah, baru kemarin lusa saya benar-benar merasakan kengerian banjir, sampai saya menyesal pernah menyepelekan banjir sebagai bencana yang ecek-ecek (maksudnya dibandingkan gempa, tsunami, gunung meletus gitu)

Cerita bermula dari niat saya pulang ke rumah (fyi, tiap Kamis saya pulang ke rumah, jadi jangan nyari saya di kosan #pede amat). Sore itu langit mendung parah. Sejauh mata memandang, yang terlihat hanya warna abu-abu pekat. Karena sudah nggak tahan kangen keluarga dan rumah, yasudahlah saya nekat pulang walaupun tahu konsekuensinya : terjebak macet dan banjir.

FYI, rumah saya berada di Surabaya barat sedangkan kampus ada di Surabaya timur. Rumah Alhamdulillah nggak pernah kena banjir. Tapi jalan menuju rumah lah yang amit-amit banget kalau lagi banjir.
Dan benar, saat itu semua jalan akses menuju rumah dilanda banjir tinggi. Sialnya, angkutan umum yang saya naiki tidak bisa melanjutkan perjalanan. Bapak sopir yang baik hati pun menurunkan semua penumpangnya di tengah jalan, yang kira-kira jaraknya masih 5km dari rumah saya.

Ketika saya turun dari angkot, ternyata banjirnya se pangkal paha. Fuuuh. Yasudahlah, jalanlah saya bersama beberapa orang. Kami saling bantu, berpegangan, payungan sama-sama, sampai kami tiba tepat di sebelah proyek pembangunan jalan dan pengerukan sungai, banjirnya sudah nggak seberapa, karena saya lewat tepian sungai yang tanahnya agak tinggi.

Itu lah peluang kematian pertama.
Tepat disebelah kiri saya adalah proyek pengerukan sungai. Sungai selebar 5-6 meter berarus ‘cukup’ deras tersebut punya pagar pembatas seadanya. Lebih tepatnya bukan pagar pembatas sih, hanya pembatas besi kecil-kecil yang kalau saya dorong pun mungkin akan jatuh ke sungai dengan mudah, dan nggak sepanjang sisi sungai memiliki pembatas, justru banyak yang nggak ada.

Well, sebelah kiri saya sungai berarus deras, sebelah kanan saya kerumunan kendaraan yang berebut jalan, pijakan saya adalah rerumputan berlumpur. Sekali saya terpeleset dan jatuh ke kiri, mungkin tak banyak yang bisa dilakukan :) Syukurlah, Allah masih memberi saya kesempatan.